Desember 2015
Syiahindonesia.com - Pada tahun 1193 H/1779 M, Agha Muhammad Gajar mengambil alih kekuasaan di Iran. Agha adalah keturunan Persia asli yang bermazhab Syi’ah, meskipun ia cenderung kepada sekuler, ia tidak mengajak orang kepada madzhab Itsna Asyariyah dan tidak memerintah dengan ajaran tersebut. Anak cucunya silih berganti memegang tumpuk pemerintahan di Iran, dengan wilayah yang mengalami pasang-surut, mereka menggunakan gelar ‘Shah’, hingga keluarga ini jatuh saat Reza Pahlevi mengadakan pemberontakan terhadap mereka tahun 1343 H/1925 M.

Kemudian Reza Pahlevi mengumumkan dirinya sebagai Shah Iran atas bantuan Inggris, namun Inggris menjatuhkan pemerintahannya tahun 1941 M, karena adanya perselisihan di antara mereka. Inggris melengserkannya dan menggantikan dengan puteranya bernama Muhamad Reza Pahlevi, yang menjadi penguasa sekuler Iran hingga tahun 1399 H/1979 M. Setelah itu mencetuslah Revolusi Syi’ah Itsna Asyariyah yang dipimpin Khumaini untuk mengukuhkan kembali kekuasaan Syi’ah di wilayah Persia (Iran).

Demikianlah kisah kekuasaan Syi’ah di dunia Islam semenjak lahirnya sekte-sekte Syi’ah hingga zaman kita sekarang.



Baca artikel  selengkapnya di SEJARAH KARBALA tafhadol
Maka, jelaslah bagi kita bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan Syi’ah, semuanya muncul dalam bentuk pemberontakan terhadap pemerintahan Sunni. Mereka selalu berkedok agama dengan mengaku cinta kepada Ahlulbait atau keturunan mereka.

Bahkan kita menyaksikan dalam seluruh periode tadi, tidak pernah sekalipun terjadi peperangan antara sekte-sekte Syi’ah dengan musuh-musuh Islam, baik dari kalangan Salibis Rusia, Inggris, Perancis atau Portugis, maupun terhadap bangsa Tartar dan lainnya, bahkan disepanjang sejarah mereka saling bekerjasama dengan musuh-musuh Islam.

Meskipun demikian, kita tidak boleh menyalahkan generasi sekarang akibat kesalahan para pendahulu mereka, akan tetapi kita berupaya mendiskusikan akidah,

pemikiran, dan manhaj mereka yang sama persis dengan akidah, pemikiran, dan manhaj para pendahulu mereka. Inilah problem utama dan akar masalahnya…

Selama mereka masih meyakini kepemimpinan harus dipegang oleh keturunan tertentu, meyakini para imam itu ma’shum, menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat bahkan Ummahatul Mukminin …  Selama hal itu masih mereka lakukan, maka kita tidak boleh berprasangka baik kepada mereka. Akan tetapi kita harus mengatakan bahwa anak keturunan mereka masih mengikuti ajaran para pendahulunya…
Menurut Anda,

Bagaimana sikap kita terhadap syi’ah?

Bagaimana mungkin kita bermuamalah dengan mereka?

Apakah diam lebih baik bagi kita atau kita jelaskan apa adanya?

Apakah sebaiknya kita acuhkan masalah ini ataukah kita pelajari? (Nisyi/Syiahindonesia.com)

Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.

Baca juga: Mengenal Sekte Syiah Isma'iliyah Bag. 1
Syiahindonesia.com - Diantara sekte Syiah adalah sekte Syiah Itsna Asyariyah –meskipun sekte ini juga memiliki berbagai macam kebid’ahan- namun mereka sedikit lebih ringan bahayanya dari dua sekte sebelumnya. Mereka beriman kepada Allah, RasulNya dan hari berbangkit, akan tetapi mereka juga melakukan bid’ah-bid’ah besar dan kemungkaran-kemungkaran yang buruk, bahkan seruan ajaran mereka sampai kepada sebagian keluarga-keluarga besar di kota Persia dan Iraq, dampaknya adalah keberhasilan mereka menguasai pemerintahan di berbagai wilayah.

Mereka juga berhasil merekrut dan mensyi’ahkan keluarga besar Bani Saman yang merupakan asli keturunan Persia. Keluarga Bani Saman telah menguasai sebagian besar negeri Persia (Iran sekarang) dan berkuasa dari tahun 261 H – 389 H, namun daulah ini baru nampak dipermulaan abad keempat Hijriyah.

Sekte ini juga berhasil merekrut keluarga besar Bani Hamdan, yang berasal dari keturunan bangsa Arab dari kabilah Bani Taghlib. Bani Hamdan berkuasa di wilayah Maushul Iraq dari tahun 317 – 369 H, bahkan kekuasannya sampai ke Aleppo dari tahun 333 – 392 H. 

Yang paling berbahaya adalah keberhasilan mereka merekrut keluarga Bani Bawaih, yang merupakan keturunan Persia asli. Kemudian mereka merumuskan berdirinya daulah di wilayah Persia. Pada tahun 334 H, mereka berupaya menduduki kekhalifahan Bani Abasiyah, dengan tetap membiarkan khalifah tinggal di pusat kotanya agar tidak memicu pemberontakan kaum Muslimin ahlisunnah kepada mereka. Selama lebih dari seratus tahun penuh, mereka berhasil menguasai khilafah Abasiyah (sejak tahun 334 hingga 447 H) hingga muncullah dinasti Saljuk yang beraliran sunni menyelamatkan Iraq dari kekuasaan Syi’ah. Dalam rentang waktu itu, kaum Syiah menampakkan dendam mereka terhadap ulama-ulama Ahlisunnah dan khalifahnya. Mereka menulis cercaan terhadap para sahabat di pintu-pintu masjid dan terang-terangan mencela Abu Bakar dan Umar di khutbah-khutbah mereka, inilah periode yang sangat kelam dalam sejarah umat Islam. 
Baca artikel  selengkapnya di SEJARAH KARBALA tafhadol

Demikianlah, kita melihat bahwa abad keempat Hijriyah memang murni periode sekte Syi’ah. Sungguh, Al Buwahiyun telah menguasai bagian wilayah Iran dan semua wilayah Iraq. As Samaniyun menguasai bagian timur wilayah Iran, sebagian wilayah Afghanistam dan wilayah timur dunia Islam. Hamdaniyun menguasai sebagian wilayah Moshul dan Aleppo. Sekte Syiah Qaramithah menguasai wilayah timur Jazirah Arab, bahkan sampai ke wilayah Hijaz, Damaskus dan Yaman. Daulah Ubaidiyah (yang secara dusta menisbatkan kepada Al Fathimiyah) telah menguasai semua negeri Islam di wilayah Afrika, bahkan sampai wilayah Palestina, Suriah dan Lebanon.

Di akhir abad keempat Hijriyah, kekuasaan daulah Qaramithah mulai tumbang. Pada pertengahan abad kelima, daulah Bani Buwaih (447 H) juga tumbang, Sedangkan daulah Isma’iliyah Ubaidiyun masih eksis hingga pertengahan abad keenam Hijriyah (567 H), maka negeri-negeri Islam sunni mulai kembali mendapatkan kekuasaan di seluruh wilayah, meskipun ajaran sekte Syiah Itsna Asyariyah masih tetap ada di wilayah Persia dan sebagian wilayah Iraq, namun mereka tidak memiliki kekuasaan.

Kondisi tetap seperti itu hingga tahun 904 Hijriyah (permulaan abad ke sepuluh Hijriyah) sampai Isma’il Ash Shafawi merumuskan untuk mendirikan daulah Syiah As Shafawiyah Itsna Asyariyah di Iran (Shafawiyah adalah nisbat kepada leluhurnya Shafiyuddin Al Ardabili, dari keturunan Persia wafat tahun 729 H). Daulah ini semakin memperluas wilayahnya dan menjadikan Tibriz sebagai ibukotanya, dan terlibat perang sengit dengan tetangganya yaitu Daulah Utsmaniyah yang bermadzhab Ahlisunnah.

Daulah As Shafawiyah bersekongkol dengan Portugis untuk memerangi daulah Utsmaniyah dan berhasil menduduki sejumlah wilayah Iraq yang semula dikuasai Daulah Utsmaniyah. Mereka hampir berhasil menyebarkan faham Syi’ah di sana, sekiranya Sultan Saliem I tidak berhasil mengalahkan mereka dalam sebuah pertempuran besar yang masyhur dalam sejarah dengan Perang Jaldeiran tahun 920 H. Akhirnya Sultan Saliem I berhasil memukul telak mereka dan mengusir mereka dari Irak.
Hari-hari terus berlalu dan perseteruan masih berlanjut antara Shafawiyyin dan Utsmaniyyin. Sebagian besar peperagan terpusat di wilayah Irak, bahkan peperangan ini berlanjut selama lebih dari dua abad. Daulah Shafawiyah berkuasa di Iran sejak tahun 907-1148 H, kemudian jatuh pada pertengahan abad ke18 masehi, tepatnya tahun 1735 M. Karena itu, Iran terpecah menjadi beberapa wilayah yang diperebutkan antara Turki Utsmani, Rusia, Afghanistan dan beberapa panglima perang bawahan Sultan Abbas III, yang merupakan Sultan terakhir daulah Shafawiyah.

Daulah Utsmaniyah mulai memasuki masa lemahnya dan dikerumuni oleh bangsa Eropa dan Rusia. Akibatnya, kekuasaan Utsmani terhadap wilayah barat Iran mulai melemah. Wilayah ini silih berganti dikuasai oleh banyak pemimpin, akan tetapi mereka selalu loyal kepada para penguasa Barat. Sesekali mereka loyal kepada Inggris (yang menguasai wilayah dekat India dan Pakistan) dan sesekali loyal kepada Perancis, dan sesekali loyal kepada Rusia. (Nisyi/Syiahindonesia.com)

Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.
Syiahindonesia.com - Di paruh abad ketiga Hijriyah, kelompok ini mengalami perkembangan yang sangat segnifikan, yang tidak cukup ruang untuk menjelaskan masalah ini. Ketika itu muncul pula tiga sekte besar lainnya, masing-masing sekte mengklaim kelompoknyalah yang paling benar, meskipun mereka saling berselisih dalam keyakinan, prinsip dan hokum bahkan di setiap perkara. Ketiga sekte besar ini adalah sekte Syiah Itsna Asyariyah, Isma’iliyah dan Qaramithah. Konflik selalu terjadi antara mereka dengan ahlisunnah, meskipun hal itu juga terjadi antara kelompok mereka sendiri, wajar mengingat ketiganya tidak memiliki kesesuaian antara satu dengan yang lain dan tumbuh kembang dari memperturutkan hawa nafsu dan bid’ah-bid’ah dalam agama.

Sampai tahap ini, kelompok-kelompok tadi hanyalah gerakan perusuh dan pengacau dalam umat Islam, dan belum memiliki kekuasaan yang mampu mengatur jalannya sejarah. Namun seiring berakhirnya abad ketiga Hijriyah dan permulaan abad keempat Hijriyah, gerakan ini mulai berubah drastis dan menimbulkan dampak yang sangat membahayakan.

Sekte Qaramithah adalah sekte yang paling cepat dalam upaya menguasai pemerintahan, mengingat sekte ini sangat bengis dan kejam. Di samping itu, salah seorang da’I mereka Rustum bin Al Husain berhasil menyebarkan ajarannya ke Yaman dan mendirikan Daulah Qaramithah disana. Kemudian ia mulai mengirim koresponden ke tempat yang berbeda-beda, bahkan korespondennya sampai ke wilayah Maroko. Akan tetapi daulah ini segera lenyap, seiring munculnya seekte Qaramithah model baru, di wilayah Jazirah Arab, khususnya di Bahrain (Bahrain bukanlah kerajaan Bahrain sekarang ini, akan tetapi wilayah timur Jazirah Arab). Di wilayah ini berdiri daulah Qaramithah yang mengancam stabilitas kaum Muslimin. Mereka melakukan pembantaian terhadap para jama’ah haji. Salah satu perbuatan keji mereka adalah penghancuran terhadap masjidil haram pada hari Tarwiyah tahun 317 H, membunuh semua Jama’ah haji di Al Haram dan mencuri hajar Aswad setelah menghancurkannya. Kemudian membawa Hajar Aswad ke ibukota mereka di Hajar, timur Jazirah Arab selama 22 tahun, dan baru mengembalikannya di tempat asli di Ka’bah pada tahun 339 H. 
Sementara Sekte Isma’iliyah mendapatkan wilayah Maroko sebagai tempat yang sesuai untuk menyebarkan ajarannya. Ajaran Rustum bin Al Husain dari sekte Qaramithah yang memerintah Yaman ini mulai tersebar melalui seorang laki-laki bernama Abdullah As Syi’i. Kita sama-sama tahu bahwa kedua sekte ini, yaitu Isma’iliyah dan Qaramithah adalah sekte yang sama-sama mengklaim imamah Isma’il bin bin Ja’far Ash Shadiq. Karena itu, salah seorang cucu Maimun Al Qaddah yang bernama Ubaidillah bin Al Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Maimun Al Qaddah, ketika mendapat kesempatan emas untuk mendirikan daulah Qaramithah di Maroko, ia segera ke sana, kemudian bersama sejumlah pengikutnya ia mengumumkan mendirikan daulah Isma’iliyah, menggelari dirinya sebagai Al Mahdi, megklaim bahwa dia adalah imam yang mengusung sekte Syiah Isma’iliyah, menganggap dirinya dari anak cucu Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq. Bahkan ia menganggap para imam sebelumnya dari keturunan Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq tersembunyi. Agar ia mendapatkan pengakuan di hati masyarakat, ia kemudian menamai daulah ini dengan daulah “Fathimiyah” yang dinisbatkan secara dusta kepada Sayyidah Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun sebenarnya ia adalah seorang Yahudi tulen.

Baca artikel  selengkapnya di SEJARAH KARBALA tafhadol

Ajaran Isma’iliyah sangat cepat tersebar dengan memanfaatkan kejahilan dan simpati manusia, kemudian mulai berekspansi (memperluas wilayah) hingga berhasil menguasai seluruh wilayah utara Afrika, dengan menyebarkan bid’ah-bid’ah serta kemungkaran-kemungkaran, mencela para sahabat, menyatakan akidah hulul, reinkarnasi dan keyakinan-keyakinan batil lainnya. Bahkan pada tahun 359 H, ekspensi daulah ini sampai berhasil menginvasi dan menjajah Mesir, dibawah komando panglima mereka Jauhar As Shaqli Al Isma’ili pada zaman Al Mu’iz Lidinillah Al Ubaidi (seharusnya daulah Al Ubaidiyah, yang dinisbatkan kepada Ubaidillah Al Mahdi, bukan daulah Fathimiyah). Kemudian Al Mu’iz Lidinillah memasuki Mesir, mendirikan kota Kairo dan membangun masjid Al Azhar untuk menyebarkan Madzhab Syi’ah Isma’iliyah di sana. Ia juga membantai ulama-ulama Sunni, terang-terangan mencela sahabat. Hal ini terus dilanjutkan oleh para imam Isma’ilyah setelahnya, bahkan diantara mereka ada yang sampai kepada pemikiran gila dengan menganggap dirinya sebagai Tuhan, seperti Al Hakim Biamrillah. Mereka juga memperbanyak membangun masjid untuk menyebarkan madzhabnya, dan tetap menguasai Mesir, Syam dan Hijaz selama dua abad lamanya, sampai akhirnya Shalahuddin Al Ayyubi datang menghentikan keburukan kelompok ini pada tahun 567 H, dan membebaskan Mesir dari penjajahan sekte Syiah Isma’iliyah. (Nisyi/Syiahindonesia.com)

Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.
Syiahindonesia.com - Pastinya kebanyakan para pembaca kaget ketika mereka membaca sejarah perkembangan Syi’ah (pada artikel sebelumnya.pent). Dan pastinya, kami tidak akan menulis sejarah Syiah hanya karena ingin mengetahui sesuatu yang terjadi dalam tahapan sejarah yang berbeda-beda, namun supaya kita dapat mengambil pelajaran, sehingga kita dapat berinteraksi dengan berbagai krisis yang menyelimuti kita dengan sikap yang lebih baik dan visi yang lebih jelas.

Sebab tidak peduli terhadap sejarah merupakan bentuk kejahatan terhadap generasi mendatang, kita akan terhalang dari petunjuk manakala kita berpaling dari mempelajari akar permasalahan.

Sebagaimana sebelumnya, kita diperintahkan untuk mempelajari kisah-kisah para pendahulu agar kita dapat mengambil pelajaran tentang realita kita. Allah Ta’ala berfirman; “Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” QS Al A’raf; 176. Karena itu, tidak layak jika kita hanya sebatas bercerita, akan tetapi kita juga harus merefleksikan kemudian berupaya menyongsong langkah apa yang mesti kita ambil untuk memahami realita dan membangun masa depan kita.
Dalam artikel ini, pertama kali saya akan memulai dengan dua peringatan penting, yaitu;

Pertama; Agar anda dapat memahami dan mengambil faidah dari artikel ini, sebaiknya anda membaca artikel saya tentang “Ushul As Syi’ah”, karena di dalamnya memuat tentang akar sejarah perkembangan Syi’ah dan akidah-akidah Syi’ah yang akan membantu anda memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan.

Kedua; sampai saat ini, saya baru sekedar menceritakan sejarah apa adanya dan menukil riwayat-riwayat yang shahih, supaya lebih memperjelas sikap kita terhadap Syi’ah dan bagaimana hubungan yang mestinya kita jalin.

Mengenal Sekte Syiah Isma’iliyah

Setelah wafatnya Al Hasan Al Askari (sebagai imam yang ke sebelas menurut mereka), Syiah memasuki masa kebingungan besar, yang dalam sejarah dikenal dengan periode “Khirah As Syi’ah”. Pada masa ini, mereka terpecah menjadi berbagai macam sekte, setiap sekte merumuskan agama semaunya sendiri, demi mendapat keuntungan politik yang lebih baik. Dan yang paling masyhur dari sekte-sekte ini adalah Syiah Itsna Asyariyah, yang telah kita singgung dalam artikel sebelumnya (Pokok Ajaran Syi’ah). Ternyata Itsna Asyariyah bukanlah sekte satu-satunya, tapi ada juga sekte yang lebih berbahaya, yang dalam perkembangannya membawa malapetaka terhadap umat Islam. Sekte ini bernama Syi’ah Isma’iliyah.



Baca artikel  selengkapnya di SEJARAH KARBALA tafhadol
Syi’ah Isma’iliyah adalah sekte yang terlampau jauh dalam kesesatannya, sehingga mayoritas para ulama mengeluarkannya dari Islam. Munculnya sekte ini atas scenario seorang rahib Yahudi yang ingin membuat makar umat Islam, dia adalah Maimun Al Qaddah. Pada awalnya ia mengaku sebagi seorang muslim dan memiliki kedekatan dengan Muhammad bin Isma’il, termasuk ahlibait dan cucu dari Ja’far Ash Shadiq (imam keenam menurut Syiah Itsna Asyariyah), bahkan sangat akrab. Ayahnya, yaitu Isma’il adalah saudaranya Musa Al Kazhim, imam ketujuh menurut Syiah Itsna Asyariyah.

Maimun Al Qaddah telah melakukan sesuatu yang luar biasa, yang menunjukkan betapa jahatnya ia terhadap umat Islam, ia juga memiliki taktik yang sangat picik untuk menghancurkan umat Islam, bahkan sampai beberapa decade setelah kematiannya. Diantarnya, dia menamai anaknya dengan anaknya Muhammad bin Isma’il (yaitu Abdullah), dan berwasiat supaya kelak ia menamai anak cucunya dengan nama anak cucu Muhammad bin Isma’il, agar dalam perjalanan sejarah, orang-orang Yahudi mengklaim jika mereka dari anak cucu keturunan Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq. Tidak Cuma ini, mereka mengklaim bahwa yang berhak atas kepemimpinan daulah Islamiyah harus dari keturunan Isma’il bin Ja’far Ash Shadiq, bukan dari keturunan Musa Al Kazhim bin Ja’far Ash Shadiq, sebagaimana yang diklaim oleh sekte Syiah Itsna Asyariyah.

Maimun Al Yahudi akhirnya mendapatkan apa yang diinginkan dan sekte Isma’iliyah pun mulai berkembang, kemudian anak cucu Maimun mulai merumuskan keyakinan dan pemikirannya yang bertentangan dengan Islam, yang paling buruk adalah pernyataan mereka tentang akidah hulul (Allah menyatu dalam tubuh Imam), karena itu mereka menyatakan ketuhunan Imam. Mereka juga meyakini reinkarnasi –yaitu ruh-ruh yang sudah mati, khususnya ruh para imam akan terlahir kembali kemudian menitis ke dalam tubuh orang yang masih hidup-, mereka juga meyakini bahwa para imam akan kembali ke dunia setelah kematiannya, lebih ngawur lagi mereka terang-terangan mencela para sahabat, bahkan mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meski mereka mengklaim dari keturunan beliau. Tujuan tertinggi mereka adalah melenyapkan tokoh-tokoh Ahlisunnah di dunia Islam, dan kami akan menjelaskan betapa besar sepak terjang mereka selanjutnya.

Sekte Isma’iliyah ini mulai gencar menyebar luaskan pemikiran yang rusak ditengah-tengah umat Islam yang jahil, dan memanfaatkan kecintaan masyarakat terhadap Ahlibait, bahkan mengklaim merekalah anak cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Penyebaran ajaran Syiah ini sangat erat kaitannya dengan orang-orang Persia yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan agama Majusinya, diantaranya adalah Husain Al Ahwazy, termasuk tokoh dan petinggi Syiah Isma’iliyah yang beraktivitas di Bashrah. Disamping itu juga ada Hamdan bin Al Asy’ats, sosok yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai orang yang memiliki kepribadian buruk. Asal mula orang ini masih diperselisihkan, ada yang mengatakan bahwa dia dari Majusi Persia, ada juga yang mengatakan bahwa dia dari Yahudi Bahrain. Hamdan bin Al Asy’ats dijuluki “Qurmuth”, seiring berjalannya waktu, muncullah sekte Syiah yang dinisbakan kepadanya, yaitu Sekte Syiah Qaramithah, sempalan dari sekte Isma’iliyah yang tidak kalah bahayanya dari Isma’iliyah. Sekte ini menyatakan bolehnya merampas harta dan kehormatan wanita, menghalalkan setiap kemungkaran-kemungkaran baik itu membunuh, berzina atau mencuri, melakukan perampokan, pembegalan, bahkan mereka tergabung dengan para perampok dan pemberontak, sehingga kelompok ini menjelma menjadi kelompok yang sangat membahayakan dalam sejarah umat Islam. (Nisyi/Syiahindonesia.com)

Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.
Syiahindonesia.com - Kita kembali ke silsilah Ath Thalibiyin, setelah wafatnya Ali Ar Ridha yang diangkat oleh Al Makmun menjadi waliyul ahdi, muncul puteranya Muhammad Al Jawwad dan meninggal pada tahun 220 H, kemudian muncul puteranya Muhammad Al Hadi yang meninggal pada tahun 254 H, kemudian terakhir muncul puteranya Al Hasan bin Ali yang bergelar Al Askari dan meninggal secara tiba-tiba pada tahun 260 H, dan hanya meninggalkan seorang putera bernama Muhammad yang masih berusia lima tahun.            
 Di tahun-tahun sebelumnya, ternyata gerakan ini terpisah-pisah, yaitu kelompok yang tergabung dari Ahlbait dan kelompok yang tergabung dari As Syu’ubiyun Persi, mereka menyerahkan kepemimpinannya kepada anak tertetua dari kelompok Ath Thalibiyun, dimulai dari Ali Ridha dan berakhir kepada Al Hasan Al Askari. Adapun tokoh sebelum Ali Ridha, seperti ayahnya yaitu Musa Al Kazhim, atau kakeknya Ja’far As Shadiq atau buyutnya yaitu Muhammad Al Baqir, mereka tidak pernah memimpin pemberontakan terhadap daulah Umawiyah maupun Abasiyah.

Akan tetapi setelah wafatnya Al Hasan Al Askari pada tahun 260 H, para pemberontak mengalami kebingungan, pasalnya siapakah yang akan menggantikan kepemimpinannya? Karena Al Hasan Al Askari hanya meninggalkan seorang anak kecil, bahkan mereka semakin bingung manakala anak kecil yang merupakan (imam) terakhir meninggal secara tiba-tiba, sehingga mereka terpecah menjadi beberapa kelompok, sebagian mereka saling berselisih dengan sebagian yang lain, baik dalam masalah prinsip, pemikiran atau bahkan dalam masalah syariat dan keyakinan.

Diantara Sekte Syiah yang paling masyhur adalah Syiah “Itsna Asyariyah” yaitu sekte yang sekarang ini ada di wilayah Iran, Iraq dan Lebanon dan merupakan sekte Syiah paling besar di zaman kita ini.

Maka para pemimpin sekte ini menambah-nambah ajaran yang sesuai dengan prinsip dan kepentingan mereka ke dalam ajaran Islam, serta menambah ajaran yang dapat menjamin keberlangsungan perjalanan sekte ini ditengah ketiadaan Imam.


Baca artikel  selengkapnya di SEJARAH KARBALA tafhadol

Sekte ini telah menambah macam-macam bid’ah yang sangat membahayakan dalam agama Islam, seperti anggapan bahwa ajaran mereka termasuk bagian yang tidak terpisahkan dari agama Islam, selanjutnya bid’ah ini menjadi bagian dari keyakinan mereka. Diantara bid’ah mereka ada yang khusus dalam masalah imamah, karena mereka hendak mencari solusi dari permasalahan ketiadaan imam saat ini. Mereka juga berkata; “Sesungguhnya para imam itu hanya dua belas.” Mereka juga menyatakan; “Sesungguhnya, urutan para imam tersebut adalah sebagai berikut;

1.      Ali bin Abi Thalib
2.      Hasan bin Ali
3.      Husain bin Ali
4.      Ali Zainal Abidin bin Husain
5.      Muhammad Al Baqir bin Zainal Abidin
6.      Ja’far Ash Shadiq bin Muhammad Al Baqir
7.      Musa Al Kadzim
8.      Ali Ridha
9.      Muhammad Al Jawwad
10.  Ali Al Hadi
11.  Hasan bin Ali Al Asykari
12.  Muhammad bin Hasan Al Asykari

Dari sini, sekte ini kemudian dikenal dengan Syiah Itsna Asyariyah (dua belas imam), supaya mereka dapat menafsirkan berakhirnya imam sampai yang ke dua belas, mereka mengatakan; “Sesungguhnya anak kecil yaitu Muhammad bin Al Hasan Al Askari tidak meninggal, tetapi bersembunyi di salah satu Sirdab (goa) dan masih hidup sampai saat ini (hidup lebih dari seribu tahun, bahkan hingga sekarang). Dan ia akan kembali pada suatu hari nanti untuk memimpin dunia, dialah Al Mahdi Al Muntazhar. Mereka juga menganggap Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewasiatkan dengan menyebut nama-nama kedua belas imam, namun para sahabat menyembunyikannya, dari itu mereka mengkafirkan mayoritas sahabat, namun sebagian mereka menfasikkan, tidak sampai mengkafirkan, karena para sahabat telah menyembunyikan perkara para imam.

Setelah itu, mereka memasukkan dari ajaran Persia ke dalam system dinasti yang tidak dapat dielakkan, mereka berkata; “Pemimpin itu harus dari anak yang paling tua, di mulai dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan berlanjut hingga semua imam setelahnya.” Sebagaimana yang diketahui, bahwa system ini bukan dari ajaran Islam sama sekali, sampai negara-negara islam sunni yang menggunakan system dinasti pun seperti khilafah bani Umayyah, Abasiyah, Saljuk, Ayyubiyah dan Utsmaniyah tidak pernah sama sekali menyatakan bahwa sistem dinasti merupakan bagian dari ajaran agama, atau harus dari keluarga tertentu.
Mereka juga memasukkan dari ajaran Persia tentang masalah taqdis (suci dari dosa) terhadap keturunan para imam, mereka menyatakan tentang kema’shuman para imam dan terjaganya dari dosa, kemudian pernyataan itu mereka tetapkan dari Al Qur’an dan Al Hadits, bahkan sebagian besar kaidah-kaidah fikih dan syariat sekarang ini mereka sandarkan dari perkataan para imam, sama saja apakah para imam mengatakannya atau menisbatkan kepada mereka secara dusta. Lebih dari itu, dalam kitab “Al Hukumah Al Islamiyah”, Al Khumaini, sang revolusioner Iran mengatakan; “Sesungguhnya diantara prinsip madzhab kita, bahwa imam-imam kita memiliki kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat yang terdekat maupun Nabi yang diutus.”[1]!!

Dari sini, mereka sangat memusuhi semua para sahabat (kecuali hanya sedikit, tidak lebih dari 13 sahabat), termasuk permusuhan mereka terhadap sebagian ahli bait, seperti paman Nabishallallahu ‘alaihi wasallam Abbas dan anaknya Ibnu Abbas, ulama umat ini. Bukan rahasia lagi, bahwa cercaan dan pengkafiran ditujukan kepada mereka berdua dan kepada khilafah bani Abasiyah selain imam yang kedua belas. 

Di antara bid’ah mereka adalah menyatakan bahwa sebagian besar negeri-negeri Islam merupakan daar al kufri, mengkafirkan penduduk Makkah, Madinah dan Syam serta penduduk Mesir, bahkan dalam menyatakan hal itu mereka menisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan menganggap bagian dari ajaran agama. Pernyataan-pernyataan ini terdapat dalam kitab-kitab induk yang mereka jadikan rujukan, seperti kitab Al Kaafi, Bihar Al Anwar, Tafsir Al Qumi, Tafsir Al ‘Iyasyi, Al Burhan dan kitab-kitab lainnya.

Selanjutnya mereka tidak akan menerima semua ulama dari kalangan Ahlisunnah dan menolak semua kitab-kitab shahih maupun sunan, baik Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasa’I, Abu Hanifah, Malik, As Syafi’I, Ibnu Hanbal, begitu juga mereka tidak akan menerima Khalid bin Walid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Umar bin Abdul Aziz, Musa bin Nushair, Nuruddin Mahmud, Shalahuddin, Qutuztidak juga Muhammad Al Fatih, dan seterusnya.

Hasilnya, mereka mengesampingkan para sahabat, tabi’in, kitab-kitab hadits dan tafsir, karena mereka mengadopsi perkataan-perkataan yang dinisbatkan kepada para imam, meskipun dari segi riwayat sangat lemah. Karena itu, muncul berbagai macam bid’ah mungkarah, baik dalam masalah akidah, ibadah, mu’amalat serta dalam masalah lainnya. Disini, kami tidak bertujuan membahas bid’ah-bid’ah tersebut, karena pembahasan ini membutuhkan banyak kitab, tetapi kami akan mengarahkan kepada pokok permasalahan, sehingga kita paham karakternya, jika tidak maka pembahasan kita akan melebar, seperti pembahasan seputar bid’ah taqiyah, raj’ah, pernyataan terhadap pendistorsian Al Qur’an, keyakinan yang rusak terhadap Allah dan bid’ah-bid’ah rusak lainnya yang mereka lakukan, bid’ah tentang peringatan hari terbunuhnya Imam Husain, serta ribuan bid’ah-bid’ah yang menjadi prinsip ajaran sekte Syiah Itsna Asyariyah.

Semua yang telah kami sebutkan adalah bagian dari ajaran Syiah Itsna Asyariyah, selain sekte ini disana juga masih banyak sekte yang masih eksis dalam periode sejarah, khususnya di periode yang dikenal dalam sejarah dengan peeriode “Khirah As Syi’ah” (masa kebingungan Syi’ah), yang dimulai pada pertengahan abad ketiga Hijriyah, setelah wafatnya Al Hasan Al Askari (imam ke sebelas mereka).

Di awal periode ini, mulai bermunculan tulisan-tulisan dan kitab-kitab yang menetapkan keyakinan dan pemikiran-pemikiran mereka. Ajaran ini tersebar luas di negeri Persia (Iran) khususnya, dan di negeri-negeri Islam lainnya, tetapi tanpa mmiliki daulah demi membangun pemikiran mereka secara resmi. Di akhir abad ketiga dan permulaan abad ke empat Hijriyah, terjadi perkembangan yang sangat membahayakan, karena di sebagian wilayah, Syiah sudah merambah ke dalam pemerintahan, inilah yang menimbulkan dampak buruk terhadap umat Islam.

Kita kembali kepada kaidah Ushul bahwa menilai sesuatu adalah bagian dari tashawwur (cara pandang) kita terhadapnya, karena di dalam menetapkan suatu perkara atau permasalahan harus diawali dengan pengetahuan, setelah pengetahuan yang benar di dapat, baru kita dapat menyatakan ini boleh dan ini tidak, atau yang lebih utama ini dan ini, sebab pernyataan yang hanya berdasarkan perasaan akan menimbulkan kerusakan. (Nisyi/Syiahindonesia.com)

Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.
Syiahindonesoa.com - Di akhir masa kekhilafahan bani Umayyah, gerakan bani Abasiyah berupaya sekuat tenaga membangun kekuatan guna mengkudeta kekhalifahan bani Umayah, gerakan ini bekerjasama dengan sekelompok orang yang menyempal dari Zaid bin Ali. Akhirnya kekuasaan bani Umayah tumbang pada tahun 132 H, dan berdirilah kekhilafahan bani Abasiyah dengan kepemimpinan Abu Al Abbas As Safah, kemudian Abu Ja’far Al Manshur. Sementara kelompok Syiah yang membantu dalam kudeta merasa kecewa, karena mereka berharap yang menjadi pemimpin adalah salah satu dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Tidak lama kemudian, mereka berusaha mengkudeta kekhalifahan bani Abasiyah, kelompok ini dikenal dengan At Thalibiyyin (dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib) yang menentang Abasiyin yang dinisbatkan kepada Abbas bin Abdul Mutthalib. 

Sampai saat itu, masih belum ada perbedaan mendasar dalam masalah akidah dan fikih kecuali dalam menghukumi Abu Bakar dan Umar, sebab sekelompok orang yang menyempal dari Zaid bin Ali menolak kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, bahkan mereka melaknat keduanya secara terang-terangan.

Baca artikel  selengkapnya di SEJARAH KARBALA tafhadol

Pada tahun 138 H, Ja’far Ash Shadiq wafat dengan meninggalkan seorang putera bernama Musa Al Kadzim, beliau juga seorang yang alim, tetapi tidak sealim ayahnya, beliau wafat pada tahun itu juga, dengan meninggalkan beberapa anak, diantaranya adalah Ali bin Musa Ar Ridha.

Khalifah Abasiyah Al Makmun berkeinginan untuk menyudahi fitnah yang terjadi di kalangan Ath Thalibiyiin yang menuntut supaya salah seorang keturunan Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai pemimpin, bukan dari keturunan Al Abbas, akhirnya Ali bin Musa Ar Ridha dinobatkan untuk menjabat wilayatul ahdi, hal inilah yang memicu perdebatan dikalangan Abasiyin, namun pada tahun 203 H Ali bin Ridha wafat secara tiba-tiba, sehingga Ath Thalibiyun menuduh Al Makmun yang membunuhnya, mereka pun melakukan revolusi terhadap daulah Abasiyah sebagaimana yang pernah mereka lakukan terhadap daulah Amawiyah. 
Seiring berjalannya tahun, tidak ada lagi konflik yang terjadi. Hingga periode ini, belum ada madzhab agama yang independen sebagaimana madzhab Syiah, yang ada hanyalah gerakan politik untuk mencapai kekuasaan dan menentang pemerintahan karena berbagai macam sebab, bukan karena sebab-sebab prinsip sebagaimana yang terdapat dalam manhaj Syiah sekarang ini.

Perlu diperhatikan, bahwa seruan untuk membelot dari pemerintahan Abasiyah sangat menggema diwilayah Persia (Iran sekarang), ditambah lagi mayoritas penduduk Persia merasa menyesal sepanjang tahun karena lenyapnya kerajaan Persia yang agung dan harus masuk ke dalam kesatuan daulah Islamiyah. Mereka juga menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya, lebih mulia keturunannya dan lebih mendalam sejarahnya dibandingkan kaum Muslimin lainnya, karena itu mereka terkenal dengan sebutan “As Su’ubiyah” yang fanatik terhadap suku tertentu, bukan kepada Islam, bahkan sebagian dari mereka menampakkan kecintaan yang mendalam terhadap simbol-simbol Persia, sampai kepada api yang mereka sembah.

Ketika mereka tidak memiliki kekuatan seorang diri untuk memberontak daulah Islamiyah, karena masih tergolong orang-orang Islam yang memiliki ikatan selama beberapa decade, dan tatkala mrreka mendapati revolusi yang dilakukan oleh kelompok Ath Thalibiyin sebagai solusi alternatif, maka mereka tergabung dengan kelompok ini demi menumbangkan khilafah Islamiyah yang dulunya telah menumbangkan daulah Persia. Di waktu yang sama, mereka tidak meninggalkan Islam yang telah mereka peluk selama beberapa tahun, akan tetapi mereka berusaha merubah ajaran Islam dengan warisan-warisan Persia. Mereka akan terus mencoba demi teralisasinya kebelangsungan pergolakan yang ada tubuh umat Islam, meski mereka tidak akan sampai di puncak pyramid, akan tetapi mereka akan menemui Ath Thalibiyin yang bernisbat kepada Ali bin Abi Thalib, termasuk ahli baitnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan memiliki kedudukan di hati manusia, dengan demikian seruan ini akan terus berlangsung.


Demikianlah upaya persatuan yang dilakukan As Syu’ubiyun Persia dengan kelompok Ath Thalibiyun dari ahli bait untuk membentuk satu kesatuan baru dan melebur menjadi kelompok independen yang tidak hanya sekedar dari sisi politik tetapi juga dari sisi agama. (Nisyi/Syiahindonesia.com)

Sumber: As-Syiah Nidhol am Dholal oleh DR. Raghib As Sirjani.